Kamis, 13 Oktober 2011

Hiperbilirubin ( Kuning pada Bayi ) Dapat Menyebabkan Gangguan Daya Dengar

HIPERBILIRUBINEMIA NEONATAL SEBAGAI FAKTOR RESIKO GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI
Oleh:
Mahendra Tri Arif Sampurna
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD Dr. SOETOMO

Pendahuluan
Hiperbilirubinemia neonatal terjadi akibat adanya penumpukan bilirubin pada bayi karena keterbatasannnya dalam mengeluarkan bilirubin. Bayi, terutama bayi kurang bulan mengahasilkan bilirubin yang lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa disebabkan karena pada bayi kurang bulan sel darah merah sangat mudah lisis dan memiliki umur yang pendek. Salah satu efek jangka panjang hiperbilirubinemia neonatal adalah adanya gangguan pendengaran.1
Gangguan pendengaran yang terjadi pada tahun pertama kehidupan dapat menyebabkan keterlambatan bicara dan bahasa serta perkembangan kognotif. Kerterlambatan bicara dan bahasa merupakan efek sekunder dari gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang ringan atau sedang sulit dideteksi sampai usia dua tahun, gangguan ini baru terdeteksi ketika terdapat gangguan berbicara pada anak. Dengan demikian, identifikasi dini gangguan pendengaran, baik gangguan permanen (sensorineural) maupun temporer ( konduktif) merupakan kunci keberhasilan anak dalam berkomunikasi. 2
Di Amerika serikat gangguan pendengaran terjadi pada 1 sampai 3 dari 1000 kelahiran hidup, dan diperkirakan 4000 dari 12.000 bayi dengan gangguan pendengaran akan menyebabkan gangguan bicara dan bahasa.3 Angka kejadian gangguan pendengaran lebih tinggi pada bayi yang dirawat di NICU (1-2 kasus dalam 200 bayi). Berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka kejadian gangguan pendengaran pada bayi adalah ventilasi mekanik, berat badan lahir rendah dan hiperbilirubunemia.3 Sementara itu, dari sejumlah faktor risiko gangguan pendengaran pada bayi, sekitar 4,5% berkaitan dengan hiperbilirubinemia. 4
The Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) menekankan pentingnya deteksi dan intervensi dini gangguan pendengaran pada bayi. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan kemampuan linguistik dan berbicara penderita. Tanpa adanya upaya ini, penderita akan mengalami gangguan komunikasi, kognitif, membaca, dan perkembangan sosial emosional anak. 5 Orang tua, pengasuh anak, dan dokter tidak selalu mampu mendeteksi gangguan ini terkecuali bila didapatkan keterlambatan bicara sesuai dengan milestones.Sehingga bila tanpa intervensi dini penanganannya terlambat. 6
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bahwa hiperbilirubinemia neonatal merupakan faktor resiko terhadap gangguan pendengaran pada bayi sehingga mampu melakukan deteksi dan intervensi dini sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup penderita.

1. Hiperbilirubinemia neonatal
1.1 Batasan
Hiperbilirubinemia neonatal adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin dua standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. 7 Total serum bilirubun di atas 25 mg/dl dapat menyebabkan suatu gangguan fungsi neurologis yang dikenal sebagai acute bilirubin encephalopathy. Kernicterus merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya sekuele kronis dan permanen dari kelainan neurologis pada penderita.8
1.2 Etiologi
Selama periode neonatal, metabolism bilirubin berada pada fase transisi antara fase janin dan fase dewasa. Pada fase janin plasenta merupakan komponen utama yang berfungsi mengeliminasi bilirubin tak terkonjugasi sementara pada fase dewasa bilirubin tak terkonjugasi sudah diubah menjadi bilirubin terkonjugasi yang larut dalam air oleh sel-sel hati yang kemudian dikeluarkan ke sistem bilier dan akhirnya di keluarkan ke gastrointestinal. 9
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) peningkatan beban metabolism bilirubin oleh hati (anemia hemolitik, polisitemia, pemendekan umur sel darah akibat immaturitas ataupun transfuse darah, dan infeksi), (2) rusaknya atau rendahnya aktifitas enzim transferase atau enzim terkait lainnya ( defisiensi genetik, hipoksia, infeksi, dan defisensi tiroid), (3) adanya zat yang berkompetisi atau memblokade kerja enzim tranferase (obat-obatan), (4) adanya gangguan pengambilan bilirubin oleh sel-sel hepar (defisiensi genetik dan prematuritas).3,9 Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan timbulnya hipebilirubinemia neonatal dapat dilihat pada Tabel 1.1
1.3 Patofisiologi
Bilirubin adalah pigmen Kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenasi yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida yang diekskresikan kedalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksikan menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.3,8,10
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Apabila tubuh akan mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubun. (Gambar.1)6


Tabel 1. Faktor-faktor risiko terhadap hiperbilirubinemia neonatal 1



Gambar 1. Metabolisme bilirubin1

Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubun berasal dari katabolisme heme hemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya (25%) disebut early labeled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena eritiopoesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase) dan heme bebas.10,11
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup sel darah merah bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turnover sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).12
1.4 Gejala klinis
Kuning merupakan gejala yang dapat ditemukan pada saat bayi baru lahir atau beberapa waktu setelah lahir pada periode neonatal tergantung pada penyebab hiperbilirubinemianya. Kuning selalu muncul dan berkembang secara sefalokaudal dimana kuning diawali di wajah, abdomen dan kemudian ke kaki sesuai dengan peningkatan kadar bilirubinnya. Secara klinis kadar bilirubin dapat diperkiran dengan membandingkan gejala kuning yang ditemukan ( wajah sekitar 5 mg/dl, pertengahan abdomen sekitar 15 mg/dl,dan telapak kaki sekitar 20 mg/dl).9
Ensefalopati bilirubin atau kernikterus merupakan suatu sindroma klinik yang disebabkan penumpukan bilirubin tak terkonjugasi pada ganglia basalis dan nucleus batang otak. Manifestasi klinis kernikterus sangat bervariasi dan lebih dari 15% tidak disertai kelainan neurologis yang nyata. Kernikterus dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu bentuk akut dan bentuk kronik (Tabel 2). Bentuk akut selalu dibagi dalam tiga fase; sedangkan bentuk kronis ditandai dengan adanya hipotonia, kelainan ekstrapiramidal dan kemudian diikuti dengan gangguan pendengaran sensorineural. 3,9
Tabel 2. Gambaran klinis kernikterus1



1.5 Diagnosis
Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan apabila kada bilirubin kurang dari 4 mg/dl. Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa adanya pucat, petekie, ekstravasasi darah, memar kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan dan bukti adanya suatu dehidrasi. 13 Guna mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka perlu maka perlu diketahui daerah letak kadar bilirubin serum total (Gambar 2). 14

Gambar 2. Normogram penentuan risiko hiperbilirubinemia pada bayi sehat usia 36 minggu atau lebih dengan Berat Badan 2000 gram atau lebih atau usia kehamilan 35 minggu atau lebih dan berat badan 2500 atau lebih berdasarkan jam observasi kadar bilirubin serum.14



1.6 Penatalaksanaan hiperbilirubinemia neonatal
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia neonatal dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: (1) transfuse tukar yaitu mengeluarkan bilirubin secara mekanis; (2) fototerapi, merupakan terapi standar hiperbilirubinemia pada empat dekade teakhir dimana dengan fototerapi terjadi konversi bilirubin menjadi lumirubin yang larut dalam air sehingga dapat dieliminasi; (3) farmakologis, yaitu dengan menggunakan obat-obat yang dapat mempengaruhi degradasi heme dan produksi bilirubin, peningkatan metabolisme bilirubin, dan penghambatan sirkulasi enterohepatik. Bagaimana hubungan kadar bilirubin dengan pemilihan tatalaksananya masih dalam perdebatan.10

2. Gangguan pendengaran pada bayi
2.1 Jenis-jenis gangguan pendengaran
Ada beberapa jenis gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Sebagian besar gangguan pendengaran adalah kelainan peripheral berupa kelainan pada telinga bagian luar, tengah dan dalam atau saraf pendengaran. Gangguan pendengaran peripheral dibagi dalam tiga kelompok utama yaitu: tipe konduktif, sensorineural, dan tipe campuran. Sisanya merupakan gangguan pendengaran tipe sentral.15
Gangguan pendengaran tipe konduksi terjadi pada telingan luar ataupun telinga tengah. Pada tipe ini terjadi gangguan alur konduksi dari meatus eksterna ke membrane timpani dan tulang pendengaran pada bagian telinga tengah. Gangguan pendengaran sensorineural merupakan kelainan pada telinga dalam (koklea) atau saraf pendengaran (saraf VIII). Sebagian besar kelainan sensorineural terjadi pada koklea, sangat jarang merupakan kelainan saraf pendengaran. Sementara itu, gangguan pendengaran campuran terjadi apabila seseorang mengalami gangguan pendengaran konduksi dan sensorineural secara bersamaan. Kelainan dapat terjadi di telinga luar, tengah dan juga pada telinga bagian dalam.

2.2 Etiologi dan faktor-faktor risiko
Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh berbagai hal dan dapat muncul pada waktu lahir (kongenital) atau didapat kemudian (acquired). Kelainan kongenital dapat disebabkan oleh faktor lingkungan maupun genetik. Diperkirakan sekitar 50% gangguan pendengaran kongenital disebabkan oleh faktor lingkungan seperti infeksi congenital perinatal ( contoh TORCH), pre/perinatal asfiksia, dan ototoksisitas prenatal. Pada sisi lain, sekitar 70% kelainan kongenital genetik terjadi dalam bentuk nonsindroma sementara sisanya 30% muncul dalam suatu bentuk sindroma. Dari kelainan genetik nonsindroma sekitar 75% merupakan resesif autosomal dan hanya 25% yang diturunkan secara dominan autosomal (Tabel 3.)15
Gangguan pendengaran yang didapat (acquired) dapat terjadi pada masa bayi atau masa anak-anak (progressif atau delayed-onset). JCIH mengklasifikasikan gangguan ini ke dalam dua kelompok berdasarkan faktor risiko yaitu kelompok bayi dengan risiko tinggi dan kelompok banyi tanpa risiko. Berbagai faktor risiko gangguan pendengaran pada bayi adalah seperti hiperbilirubinemia, infeksi, kelainan kraniofasial dan lain-lain (Gambar 2).4 Pada bayi yang memiliki risiko tinggi harus dilakukan pemeriksaan audiologi setiap enam bulan sampai usia tiga tahun. 15







Gambar 3. Sebaran faktor risiko gangguan pendengaran pada bayi. 4


Tabel 3. Klasifikasi gangguan pendengaran herediter15



2.3 Potogenesis gangguan pendegaran pada hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Apabila bilirubin tak terkonjugasi melewati blood brain barrier, bilirubin tersebut akan ditimbun di daerah ganglia basalis, dan juga pada daerah vestibule-cochlear nucleus dan sebagai akibanya adalah terjadinya gangguan pendengaran sensorineural. Zamani dkk (2004) telah melaporkan bahwa 33% bayi baru lahir dengan kadar bilirubin 15-25 mg/dl mengalami kehilangan gelombang kompleks pada IV dan V pada pemeriksaan auditory brainstem responses (ABR). Dengan demikian didapatkan hubungan yang signifikan antara hiperbilirubinemia dengan gangguan pendengaran pada bayi. Mereka menemukan bahwa pada keadaan hiperbilirubinemia berat didapatkan beberapa kerusakan pada koklea terutama terutama pada sel rambut bagian luar, kelainan ini juga ditemukan pada hiperbilirubinemia sedang (< 20mg/dl) yang juga dapat menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural. 16
Pada penelitian yang dilakukan oleh Amin dkk (2001), dilakukan pemeriksaan ABR pada neonates immature (28-32 minggu) pada umur satu minggu dan dilakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada jam ke 48 dan 72 setelah lahir. Peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi lebih sensitif dalam memprediksi kelainan ABR dan ensefalopati dibandingkan dengan kadar total bilirubin. Dengan demikian disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara gangguan pendengaran dengan hiperbilirubinemia. 17,18

3. Penatalaksanaan gangguan pendengaran pada bayi
3.1 Deteksi dini
Tujuan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi adalah untuk dapat mengoptimalkan fungsi verbal dan komunikasi sosial penderita. Keterlambatan mendiagnosis akan berdampak negatif pada penderita berupa kelainan verbal, kognitif, psikologi, dan kemampuan sosialekonomi penderita. Down dan Yoshingat-Itano (1999) telah melaporkan bahwa dengan diagnosis dini gangguan pendengaran pada bayi akan berdampak positif berupa adanya perkembangan berbicara yang normal pada bayi. Mereka membuktikan bahwa diagnosis gangguan pendengaran bayi pada usia < enam bulan merupakan hal yang sangat krusial dan terpenting, dan hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan Universal Newborn Hearing Screening.19
Secara umum telah diterima bahwa skrining pada neonatus merupakan hal yang sangat penting. Pengenalan dan penatalaksaan gangguan pendengaran pada fase dini merupakan nilai yang berharga, namun demikian aspek ekonomi harus selalu menjadi pertimbangan. Dengan alasan ekonomi maka skrining pada bayi hanya dilakukan pada bayi-bayi yang memiliki faktor risiko terhadap gangguan pendengaran. Pasien yang dirawat di NICU harus dilakukan skrining dengan mengingat bahwa pasien-pasien tersebut memiliki berbagai faktor risiko seperti prematuritas, berat badan lahir rendah, penggunaan obat-obat ototoksisitas, dan pemakain ventilator mekanis.16
Setiap bayi dan anak yang tidak memberikan respon terhadap suara atau memiliki gangguan bicara dan bahasa harus dilakukan pemeriksaan pendengaran. Di Amerika serikat, pemeriksaan pendengaran pada bayi baru lahir telah dilakukan pada saat bayi keluar rumah sakit. Beberapa pemeriksaan pendengaran yang disesuaikan dengan umur kronologis dan perkembangan anak dapat di lihat pada Tabel 4.16
3.2 Intervensi dini
Pada bayi dengan gangguan pendengaran tingkat sedang dan berat jika terdiagnosis sebelum usia enam bulan dengan intervensi yang cepat dan tepat menghasilkan outcome yang sangat memuaskan yang ditandai dengan perbendaharaan kata yang optimal, kemapuan bahasa reseptif dan ekspresif, sintak, kemampuan berbicara, dan interaksi sosialekonomi yang baik. Sementara itu, pada anak yang terdeteksi pada umur kurang dari satu tahun dan dilakukan intervensi yang cepat dan tepat akan mengalami perkembangan bahasa yang normal pada umur lima tahun. Intervensi dini merupakan suatu tindakan segera dengan teknologi canggih meliputi hearing aids, cochlear implant, atau alat bantu dengar lainnya yang sesuai dengan analisis ahli audiologi. Keluarga penderita harus mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang bentuk intervensi yang akan dilakukan dan diberi hak untuk menentukan pilihan.5
Beberapa kunci sukses program intervensi dini adalah: (1) motivasi keluarga yang besar, (2) memberikan informasi kepada keluarga secara baik dan benar, (3) memonitor perkembangan setiap enam bulan dengan instrument yang sesuai, (4) melibatkan secara aktif penderita, (5) menciptakan lingkungan yang nyaman baik di rumah maupun di klinik, (6) memberikan pelayan yang terbaik tanpa memandang penderita, (7) inform konsen, (8) peka terhadap budaya dan bahasa, (9) lakukan survei berkala terhadap kepuasan orang tua.5
Tabel 4. Prosedur pemeriksaan audiologi15



Ringkasan
Hiperbilirubinemia neonatal terjadi akibat adanya penumpukan bilirubin pada bayi karena keterbatasannnya dalam mengeluarkan bilirubin. Bayi, terutama bayi kurang bulan mengahasilkan bilirubin yang lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa disebabkan karena pada bayi kurang bulan sel darah merah sangat mudah lisis dan memiliki umur yang pendek. Salah satu efek jangka panjang hiperbilirubinemia neonatal adalah adanya gangguan pendengaran.
Sebagian besar gangguan pendengaran adalah kelainan peripheral berupa kelainan pada telinga bagian luar, tengah dan dalam atau saraf pendengaran. Gangguan pendengaran peripheral dibagi dalam tiga kelompok utama yaitu: tipe konduktif, sensorineural, dan tipe campuran. Sisanya merupakan gangguan pendengaran tipe sentral. Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh berbagai hal dan dapat muncul pada waktu lahir (kongenital) atau didapat kemudian (acquired).
Keterlambatan mendiagnosis akan berdampak negatif pada penderita berupa kelainan verbal, kognitif, psikologi, dan kemampuan sosialekonomi penderita. Secara umum telah diterima bahwa skrining pada neonates merupakan hal yang sangat penting. Pengenalan dan penatalaksaan gangguan pendengaran pada fase dini merupakan nilai yang berharga, namun demikian aspek ekonomi harus selalu menjadi pertimbangan. Pada bayi dan anak intervensi yang cepat dan tepat akan memberikan outcome yang optimal.






Daftar pustaka
1. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med 2001;344:581-90.
2. Sanford B, Weber PC.2008. Etiology and hearing impairment in children. Available from: http://www.uptodate.com. Accessed August 10, 2011.
3. Stehel EK, Shoup AG, Owen KE, Jackson GL, Sendelbach DM, Boney LF, et al. Newborn hearing screening and detection of congenital cytomegalovirus infection. Pediatrics 2008;121:970-5.
4. Declau F, Boudewyns AN, Van den Ende J, Peeters A, Heyning PV. Etiologic and audiologic evaluastions after universal neonatal hearing screening: analysis of 170 referred neonates. Pediatrics 2008;121:1119-25.
5. American Academy of Pediatrics. Joint Committee on Infant Hearing. Year 2007 Position Statement: Principles and guidelines for early hearing detection and intervention programs. Pediatrics 2007;120:898-917.
6. Adcock LM, Freysdottir D. 2008. Screening the newborn for hearing loss. Available from: http://www.uptodate.com accessed August 10, 2011.
7. Blackburn ST. Bilirubin metabolism maternal, fetal, & neonatal physiology, a clinical prespective. Pediatrics 2007;20:134-45.
8. Wong RJ, Bhutani VK. 2008. Pathogenesis and etiology of unconjugated hyperbilirubinemia in the newborn. Available from: http://www.uptodate.com Accessed August 10, 2011.
9. Piazza AJ, Stoll BJ. Digestive system disorder. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson textbook of pediatric.18th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007: p. 756-66.
10. Mac Mahon JR, Stevenson DK, Oski FA. Bilirubin metabolism. In: Taeusch HW, Ballard RA, eds. Avery’s disease of the newborn. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1998: p.995-1002.
11. Maisels MJ. Jaundice. In: Avery GB, Fletcher MA, Mac Donald MG, eds. Neonatology, pathophysiology&management of the newborn. 5th ed. Baltimore: Lippincot William&Wilkins; 1999: p.765-819.
12. Halamek LP,Stevenson DK. Neonatal Jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA, Martin RJ, eds. Neonatal-perinatal medicine. Disease of the fetus and infant. 7th ed. St. Louis: Mosby inc: 2002: p.1309-50.
13. Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the newborn. Am Fam Phy 2002; Tavailable from:URL: http://www.aaffp.org/afp.html. Accessed August 10, 2011.
14. American Academic of Pediatrics. Subcommittee on hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Clinical practice guidelines. Pediatrics 2004;114:297-416.
15. Gregg RB, Wiorek LS, Arvedson JC. Pediatric audiology: A Review. Pediatr Rev 2004;25:224-35.
16. Zamani A, Daneshjaou K, Ameni A, Takand J. Estimaitng the incidence of the neonatal hearing loss in high risk neonates. Acta Medica Iranica 2004;42:176-80.
17. Amin SB, Ahlfors C, Orlando MS, Dalzell LE, Merle KS, Guillet R. Bilirubin and serial audiotory brainstem responses in premature infants. Pediatrics 2001;107:664-70.
18. Ahlfors CE, Parker AE. Unbound bilirubin concentration is associated with abnormal automated auditory brainstem response for jaundiced newborn. Pediatrics 2007;121:976-8.
19. Down MP, Yoshingata-Itano C. The efficacy of early intervention for children with hearing impairment. Pediatr Clin North Am 1999;46:79-87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar